Suatu hari di kelas Antropologi, dosen saya menjelaskan tentang bagaimana Psikologi Barat kontemporer tidak ramah terhadap perbedaan karakter masing-masing masyarakat di daerah berbeda. Misalnya saja, teoritikus Psikoanalisa akan menganggap wanita-wanita Arab mengalami kelainan fungsi seksual karena mereka begitu “pemalu”, menutup diri, dan tidak peka pada istilah-istilah seksual semacam masturbasi.
Setelah berpanjang lebar, dosen saya itu meminta kami untuk berdiri dan bercerita tentang perkuliahan, seakan-akan sedang mengobrol dengan orang tua kami di rumah. Pertama kali, beliau menunjuk kawan saya yang asli Jawa (saya lupa tepatnya daerah apa).
Dosen saya mulai mencecar pertanyaan.
“le, ya apa kuliahnya?”
“ya..alhamdulillah bu...” jawab teman saya kalem
“sudah ujian?”
“sudah bu...”
“bagaimana nilainya?”
“yaa..alhamdulillah lah bu...”
“alhamdulillah gimana?” dosen saya mulai ngotot, seisi kelas cekikikan
“ya..lumayan lah bu..”
“lumayan gimana?”
teman saya garuk-garuk kepala. “ya...lumayanlah”
seisi kelas tertawa, si dosen tersenyum puas.
Setelah itu pandangan beliau mengitari seisi kelas “orang luar Jawa mana..? nah kamu...orang Aceh! Coba kamu yang cerita” beliau menunjuk gadis berjilbab merah di pojok meja sidang. Kawan saya itu menurut, mulailah dia ikut dikerjain. Diberondong pertanyaan seperti kawan saya yang pertama.
Tapi dosen saya terlihat belum puas. Walaupun jawabannya berbeda dengan yang di awal, tapi terlihat ia cukup berhati-hati dalam memilih kalimat. Akhirnya ia disuruh duduk.
Dosen saya celingukan lagi. Sorot matanya berhenti pada saya, sambil senyum-senyum beliau menunjuk saya “nah kamu...orang Palu”
Saya ikut cengengesan, lalu pasrah saja.
Pak Dosen pura-pura menelpon
“halo..gimana kabarnya?”
“baik alhamdulillah..hehe”
“gimana kuliahnya...?”
“lancar kok...”
“udah ujian? Nilainya gimana?”
“ya...sejauh ini bagus!”
“nah!” seru beliau. Kali ini dengan senyum penuh kemenangan “nyadar gak kalian perbedaannya?”
Kawan-kawan saya langsung bisik-bisik, seperti terpesona dengan pembuktian hipotesis dosen saya, bahwa orang jawa cenderung malu-malu, berbelit-belit dalam mengungkapkan hal-hal tertentu dibanding orang dari daerah lain, misalnya untuk mengakui kelebihannya sendiri seperti tadi. Kawan saya yang pertama mungkin sangat berhati-hati agar tidak dikatakan sombong, sementara saya sendiri secara tidak sadar, reflek mengakui pencapaian saya, karena saya tau, saya tidak berbohong, dan itu sah-sah saja.
Sungkan. Itu kata yang familiar di telinga saya sejak tinggal di Jawa. Kadang-kadang saya tidak habis pikir, bahkan berkenalan pun mesti harus sungkan, seakan-akan kita akan dimarahi ketika menanyakan nama seseorang. Tapi itu keunikan budaya. di Palu, mungkin bukan karena sungkan kita enggan menanyakan nama seseorang, tapi faktor lain, cuek, tidak perduli. walaupun itu tetap relatif masing-masing orang.
Dulu, saya sempat pegal dengan cara musyawarah di kelas yang menurut saya sangat berbelit-belit, apalagi bagi saya yang menyukai semuanya serba cepat “haduh, lama banget, tinggal gini aja kan udah selesai” atau “kenapa pake dibicarain lagi sih, putusin aja langsung!”. Tapi akhirnya saya mencoba memahami dan menyesuaikan diri dengan cara pengambilan keputusan mereka.
Walhasil, selain tujuan perkuliahan Antropologi hari itu terpenuhi tentang pentingnya indigeneous psychology, setidaknya saya akhirnya punya alasan kuat untuk berusaha memahami perbedaan kebiasaan dan karakter orang lain.
Hal yang paling dominan dalam bentuk karakter seseorang itu, kultur sebagaimana yg dimaksud di atas atau pendidikan? Terima kasih.
ReplyDeletemenurut sy, keduanya punya peranan besar. tapi jika yg dimaksud (pen)didikan adlh bgian dari pengasuhan, maka kultur mewarnai model pendidikan itu. tpi, biasanya kultur lebih awal membentuk karakter "asli" seseorang dibanding pendidikan formal.
Deletealangkah indahnya perbedaan wan :)..
Deletebhinneka tunggal eka :)..
-CHABIB-
Sepakat ^^v
Delete