Program berita di sebuah stasiun televisi swasta pada 4/12/2012 sedang menayangkan laporan khas redaksi mengenai penyebab fenomena perceraian dalam rumah tangga, terutama hubungannya dengan usia perkenalan antara suami istri sebelum menikah. Kemudian ditampilkan beberapa komentar dari para pakar, termasuk Psikolog. Kassandra, sang Psikolog lalu menanggapi “konon katanya...” ujarnya terlihat kurang yakin “usia pacaran yang kurang dari 6 bulan, atau lebih dari 3 tahun menjadi sebab ketidakharmonisan dalam hubungan suami istri” titik.
Kemudian tayangan berganti dengan scene yang lain.
Sebuah pandangan yang sangat mentah untuk diambil sebagai justifikasi hubungan sebelum menikah, karena terbukti faktanya tidak selalu demikian. Anda mungkin juga dapat menyebutkan beberapa contoh di mana perkenalan dalam pacaran bukanlah ukuran keharmonisan rumah tangga, dan lamanya perkenalan apalagi tidak adanya hubungan pacaran tidaklah berarti suami-istri tersebut rentan mengalami perceraian.
Yang menjadi sorotan saya pada tayangan tersebut adalah peran Psikolog, di mana mereka – seperti yang kita ketahui – seringkali menjadi rujukan dalam memahami problematika di masyarakat. sehingga perlu bagi mereka untuk selalu memperhatikan ucapan dan tindakannya, karena sebagian besar dapat menjadi hujjah bagi orang awam yang mempercayainya.
Komentar Kassandra bersandar pada asumsi dalam kaca mata psikologi kontemporer Barat, di mana sebagian teori atau nilai-nilainya tidak dapat kita adopsi secara utuh sebagai seorang mahasiswa Muslim. Misalnya, kita tidak dapat menerima bahwa tanpa perkenalan di masa pacaran hubungan rumah tangga terancam dis-harmonis, karena pada hakikatnya yang mengokohkan hubungan pernikahan adalah niat dan kesadaran ilahiah untuk mencari keridhaan Allah, sehingga seseorang tidak akan melihat dengan kaca mata retak setiap kekurangan pasangan yang baru diketahuinya. Inilah yang seharusnya menjadi pola pikir seorang Psikolog Muslim, ia tidak melepaskan jati diri dan nilai-nilai Islam yang dianutnya. Analoginya, saat membeli handphone baru, kita juga diberikan buku petunjuk. Jika kita tidak membacanya, kemungkinan kita tidak mengetahui cara penggunaannya. Begitu juga jika kita menggunakan Handphone tersebut berlawanan dengan apa yang tertera pada buku petunjuk, maka jelas saja HP tersebut akan rusak. Begitu pula, Allah yang menciptakan manusia berikut aspek jasad, ruh, nafs, dan kalbunya, maka Allah juga memberikan petunjuk dengan adanya Al-Qur’an dan sunnah mengenai bagaimana mengolah aspek itu dengan benar agar dapat membangun keharmonisan dalam pergaulan sesama manusia.
Di sini, kita lalu menemukan ketidaksesuaian antara teori psikologi barat dengan ajaran Islam, walaupun begitu, bukan berarti kita tidak memerlukan Ilmu psikologi kemudian menyingkirkannya sebagaimana yang diserukan oleh Muhammad Qutub, seorang pemikir terkemuka Mesir. Prof Malik Badri, pelopor Psikologi Islam lalu berkomentar bahwa gagasan tersebut sama saja dengan menyuruh membuang barang berharga bersama dengan barang yang tak berguna, membuang berlian bersama sampah, atau karena marah dengan nyamuk, kelambu disuruh bakar. Padahal menurutnya, Islam telah berkontribusi pada Psikologi melalui tokoh-tokohnya seperti Ibnu Sina dengan karyanya dalam pengobatan Jiwa, Ibnu Sirin dengan tafsir mimpi-nya, Al-Ghazali dan Al-Muhasibi dengan pemikirannya tentang kajian pribadi yang diserap oleh Psikologi Barat, hingga jika membuang Psikologi Barat, maka warisan Islam akan ikut terbuang bersamanya.
Mungkin apa yang ditawarkan oleh Muhammad Qutub karena dilandasi oleh kekhawatirannya terhadap ketidakmampuan ilmuwan Muslim dalam memfilter nilai-nilai dalam ilmu yang berasal dari Barat, ini sejurus dengan apa yang dikemukakan oleh Ismail Al-Faruqi seorang tokoh Islamisasi sains, bahwa “kecenderungan ummat Islam untuk meniru begitu saja budaya Barat membuat umat ini tercabut dari akar dan ideologinya sendiri, umat Islam harus menyandarkan diri pada kebenaran Islam, bukannya menggunakan sistem peradaban dan ilmu pengetahuan Barat sebagai dasar pemikiran dan tingkah lakunya, sehingga ada terjadi dualisme dalam diri umat. Di satu sisi secara ritual melakukan praktik-praktik keislaman, tapi di sisi lain menggunakan sistem ilmiah barat sebagai pola pikir dan pola kerjanya.”
Oleh karenanya, ilmuwan Muslim, termasuk mahasiswa Psikologi terlebih dahulu harus memahami perbedaan Psikologi Barat dan Psikologi Islam, Sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. DR. Achmad Mubarok, bahwa perbedaan keduanya terletak pada rumusan mengenai konsep manusia serta pendekatannya. Jika psikologi Barat hanya menggunakan kemampuan intelektual untuk mengungkap asas kejiwaan, maka pendekatan Psikologi Islam adalah dengan memfungsikan akal dan keimanan secara beriringan. Sehingga ini menjadi kelebihan bagi Psikologi Islam, di mana ia mampu menyentuh aspek moral-spritual manusia modern yang dipenuhi keresahan jiwa.
Selanjutnya, kita perlu memahami perjalanannya. H. Fuad Nashori merumuskan lima fase perkembangan Psikologi Islami[1], yaitu level persiapan yang terdiri dari fase terpesona dan fase kritik, dan level aksi terdiri dari fase perumusan, fase penelitian, dan fase penerapan. Selanjutnya ia berpendapat bahwa pada 2002 (saat bukunya ‘Agenda Psikologi Islami’ pertama kali diterbitkan) Psikologi Islami berada pada fase perumusan tahap mula-mula, di mana konsep dan teori yang coba dirumuskan masih berupa teori umum dan cenderung masih berupa pandangan filsafati tentang manusia, masih belum komprehensif. Namun sekarang jika kita melihat giat dari para akademisi, baik itu ilmuwan maupun mahasiswa psikologi, maka kita telah mulai beranjak ke fase penelitian, di mana telah banyak dilakukan riset psikologi dengan kajian keislaman. Semangat inilah yang perlu dipelihara agar kita dapat melaju ke fase berikutnya, yakni penerapan.
Di kampus yang terdapat fakultas Psikologi yang notabennya mewacanakan Islamisasi Sains seharusnya menggiatkan agenda pengembangan Psikologi Islam(i) itu sendiri. langkah yang dapat dilakukan, sebagaimana yang ditawarkan oleh H. Fuad Nashori antara lain adalah, Mengadakan pertemuan ilmiah nasional dan internasional, pembentukan kelompok-kelompok diskusi, memasukkan psikologi Islami ke dalam kurikulum, pembentukan dan pendayagunaan jaringan kerja (misalnya dari API ke organisasi mahasiswa penggiat psikologi Islami), penerbitan jurnal dan buku, pengembangan teknik pendekatan, serta pendirian dan pendayagunaan lembaga Psikologi Islami. Sebagian besar dari langkah tersebut telah diterapkan, namun menurut saya masih perlu optimalisasi lebih jauh, misalnya dari hal yang paling sederhana seperti keberadaan kelompok diskusi yang harusnya mendapat dukungan penuh sebagai sarana belajar mahasiswa di luar kelas; baik dengan penyediaan fasilitas maupun dengan memotivasi mahasiswa agar menumbuhkan atmosfir diskusi psikologi Islam(i). mata kuliah Psikologi Islam yang telah masuk dalam kurikulum adalah nilai plus bagi fakultas Psikologi di kampus tertentu, namun ke depan perlu dimaksimalkan bagaimana agar mahasiswa tidak hanya mendapat pengetahuan tentang Psikologi Islam dasar maupun terapan, tapi juga meningkatnya ghiroh untuk mengkaji psikologi Islam karena kesadaran perannya sebagai mahasiswa muslim.
Akhirnya, indigenous psychology yang bertujuan untuk memahami karakter manusia di berbagai belahan bumi adalah contoh tidak memadainya Psikologi Barat dalam menjelaskan fenomena di wilayah yang saling berbeda. Pun masyarakat Indonesia yang sebenarnya memerlukan sentuhan spiritualitas maupun religiusitas dalam menyelesaikan problem kehidupannya. Dengan mengkaji psikologi Islam untuk memahami manusia, tak perlu lagi kuping para calon sarjana psikologi panas kala mendengar ustad atau kyai lebih laris daripada psikolog dalam menangani individu dengan problem kejiwaan. nah, mempelajari psikologi positif saja kita bersemangat, apalagi psikologi Islam(i) yang kajiannya bahkan lebih luas.
[1] masih ada perbedaan pendapat antara tokoh Psikologi mengenai Istilah apakah Psikologi Islam atau Psikolog Islami. Oleh karenanya disini saya mencantumkan secara bergantian istilah psikologi Islam dan Psikologi Islami, sesuai dengan tokoh yang sedang dikemukakan pendapatnya.
Islamic Psychology for Everyday Life
Posted by
Ragwan Al-Aydrus
Tuesday, April 16, 2013
islamisasi,
psikologi Islami,
psikologi pendidikan
louis vuitton, michael kors pas cher, oakley sunglasses, burberry pas cher, sac longchamp pas cher, longchamp outlet, tiffany and co, longchamp outlet, oakley sunglasses, louis vuitton, nike air max, kate spade outlet, christian louboutin, christian louboutin uk, louboutin pas cher, replica watches, prada outlet, ugg boots, polo outlet, polo ralph lauren outlet online, chanel handbags, ray ban sunglasses, christian louboutin outlet, replica watches, jordan shoes, nike free, ray ban sunglasses, louis vuitton outlet, air max, jordan pas cher, ray ban sunglasses, cheap oakley sunglasses, longchamp outlet, oakley sunglasses, nike free run, gucci handbags, tiffany jewelry, uggs on sale, nike roshe, longchamp pas cher, nike outlet, oakley sunglasses wholesale, louis vuitton outlet, tory burch outlet, ugg boots, prada handbags, louis vuitton outlet, christian louboutin shoes, nike air max
ReplyDelete