Bulliying, "Budaya Kekerasan" Dalam Pendidikan

Seorang guru SD di Jawa Timur ‘dihakimi’ oleh para orang tua siswa dan masyarakat sekitar karena dianggap kerap kali bertindak kejam terhadap siswanya. Selain memarahi dan menghukum, sang guru juga sering melontarkan kata-kata yang menyakiti hati anak didik dan membuat mereka merasa minder dan ketakutan.

Cerita lain datang dari beberapa siswi di sebuah Sekolah Menengah Atas (SMA) di Sulawesi Tengah. Masyarakat setempat dihebohkan oleh pemberitaan mengenai beberapa siswi yang melakukan kekerasan pada teman sekolahnya. Aksi itu dimulai dengan membawa siswi tersebut ke tempat sepi. Disana pelaku menampar, memukuli dan mencubiti alat kelamin kawannya tersebut sambil melemparkan kata-kata kasar. Aksi itu diketahui berlatar belakang rebutan pacar (detik.com 14/11/2011).

Kedua kasus kekerasan di atas tentunya sering kita temui terutama pada lembaga pendidikan - apakah itu pada jenjang SD, SMP, maupun SMA, dengan motif yang berbeda-beda. Bentuk kekerasan yang muncul umumnya dilakukan oleh siswa kepada siswa lain, guru kepada siswa, bahkan siswa kepada gurunya. Kekerasan tersebut sebagaimana dua contoh di atas dinamakan bullying. 


Menurut Ken Rigby, seorang Konsultan Pendidikan pada University of South Australia, bullying adalah sebuah hasrat untuk menyakiti dan diperlihatkan melalui tindakan yang menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang lebih kuat dan tidak bertanggung jawab. Kekerasan yang dilakukan biasanya berulang dan diikuti dengan perasaan senang.

Ada dua bentuk bullying, yaitu secara fisik dan secara non-fisik. Secara fisik, guru maupun siswa melakukan bullying dengan menyakiti anggota tubuh ‘korbannya’: seperti menampar, menarik rambut, memukul, menendang, mengunci, dan mengintimidasi korban di ruangan atau dengan mengitari, memelintir, menonjok, mendorong, mencakar, meludahi, dan mengancam. Hal ini juga berlaku pada guru yang sering mendorong kepala muridnya yang tidak ia sukai, misalnya karena lambat menangkap pelajaran. Sering terjadi di antara siswa, pelaku bullying mengambil barang-barang milik kawannya seperti tas sekolah, bekal makanan, dan uang saku.

Secara non-fisik, bullying dilakukan dengan meledek dan mengancam. Termasuk juga beberapa kasus intimidasi yang dialami oleh siswa baru oleh siswa senior. Pelaku menghasut siswa lain untuk memusuhi siswa yang tidak mereka sukai, berkata jorok, menghina (bukan meledek dengan tujuan bercanda), menyebarkan gosip mengenai siswa yang menjadi korban agar ia terasing dari hubungan pertemanan, dan sejenisnya.

Para orang tua perlu waspada jika menemukan beberapa perilaku yang dapat menjadi sinyal peringatan bahwa anak sedang menjadi korban bullying:
 1) Penurunan minat yang tiba-tiba di sekolah, biasanya karena ketakutan untuk bertemu guru atau anak lain yang menjadi pelaku bullying
2) Anak tidak menempuh rute yang lazim untuk pergi ke sekolah. Itu ia lakukan bisa saja untuk menghindari pertemuan dengan anak lain yang menindasnya.
3) Prestasi anak di kelas menurun; dikarenakan sulit berkonsentrasi, pikiran anak hanya terfokus pada rasa takut dan kesal atau rencana menghindari bullying.
4) Anak tidak mau terlibat dalam kegiatan keluarga dan sekolah, mereka ingin dibiarkan sendiri (biasanya mengunci diri di kamar).
 5) Ada beberapa kasus dimana pelaku suka merampas uang jajan anak, anak yang menjadi korban akan merasa kelaparan dan berdalih kehilangan uang jajan atau tidak lapar di sekolah. Mereka akan meminta dibuatkan makan siang (kemungkinan ia dipaksa untuk menyerahkan makan siangnya)
 6) Anak merasa sedih, pendiam, tetapi gampang marah. Mereka menjadi kasar kepada saudara mereka. Karena ditindas, banyak siswa yang frustrasi dan menjadi kasar pada kakak atau adiknya. mereka akan mulai mengancam, atau mengucapkan kata-kata kasar.
7) Anak melakukan sesuatu yang bukan karakter maupun kebiasaannya. Misalnya ia lebih memilih bolos sekolah daripada bertemu dengan teman atau guru yang membuatnya merasa tertekan.
 8) Anak mengklaim dirinya sakit (atau berpura-pura sakit) dan memohon kepada orang tua untuk tidak bersekolah, kemungkinan minat bersekolahnya menurun karena mengalami bullying.
9) Anak menderita cedera fisik atau terdapat luka yang tidak sejalan dengan penjelasannya, karena beberapa anak akan cenderung menyembunyikan tindakan bullying yang telah terjadi padanya dengan mengarang cerita.
10) Anak menggunakan bahasa yang merendahkan dan menjatuhkan martabat ketika menceritakan tentang siswa atau guru yang melakukan bullying padanya.
11) Anak mengalami perubahan pola makan dan pola tidur seperti sulit tidur atau sangat sering tidur, kehilangan nafsu makan atau sebaliknya, kelelahan dan beberapa gejala stres seperti, sakit perut, pusing, dan bermimpi buruk.

Banyak dari siswa yang menjadi korban bullying enggan untuk mengadukan permasalahannya kepada orang tua, guru atau teman sebayanya. Hal ini disebabkan oleh anggapan mereka bahwa bullying is their own problem dan merekalah yang akan mempertanggungjawabkannya. Seringkali ada semacam kesepakatan atau kontrol diri di antara anak dan teman sebayanya untuk menjaga jangan sampai orang lain mengetahui masalah mereka. Anak juga lebih percaya pada teman sebayanya untuk sama-sama mencari penyelesaian ketimbang membicarakannya dengan orang tua.
Pada beberapa kasus, anak merasa putus asa bahwa bullying yang mereka alami tak akan dapat diselesaikan oleh siapapun kecuali dirinya sendiri. hal ini disebabkan karena kurangnya waktu dan jarak komunikasi yang jauh antara siswa dan guru atau antara anak dan orang tua. Beberapa hal yang membuat peristiwa bullying ini semakin berlarut-larut adalah sikap “toleransi” orang tua, guru, atau orang-orang dalam lingkungan dimana bullying itu terjadi.

Ada anggapan-anggapan keliru yang berkembang, bahwa bullying merupakan proses sosialisasi atau pergaulan antar teman sebaya yang memang wajar terjadi, merupakan “masalah kecil” atau hanya “masalah anak-anak”. Orang tua seringkali enggan untuk terlibat karena kekurangan informasi mengenai kejadian di sekolah, di samping mereka juga memberikan kepercayaan sepenuhnya pada pihak sekolah dalam mengawasi anak-anaknya.

Guru yang melakukan bullying juga tidak menyadari bahwa tindakannya membawa dampak yang besar bagi psikologis siswa. Seakan-akan sebagai bentuk disiplin, siswa malah merasa terancam pada sosok yang sewajarnya memberikan rasa aman kepada mereka. Disinilah mengapa guru juga membutuhkan pendidikan psikologi agar mereka lebih mampu memahami bahwa setiap siswa itu unik, terdapat individual differences seperti perbedaan inteligensi, bakat, minat, gaya belajar, (termasuk ada tidaknya gangguan) yang tentunya memerlukan pendekatan metode mengajar yang tepat dan efektif untuk diterapkan. Dengan mengetahui perbedaan-perbedaan tersebut, semoga tidak ada lagi kekerasan dalam bentuk apapun di dalam kelas sebagai akibat dari kedangkalan informasi guru akan diri siswanya.

 Teruntuk orang tua dan para pendidik, sadarilah bahwa bullying sangat berbahaya bagi kehidupan dan masa depan anak. Amatilah perubahan perilaku yang terjadi pada anak atau siswa anda. Jika terliat perubahan tersebut, tanyakanlah masalah apa yang sedang ia hadapi. jika anak anda benar menjadi korban bullying, sebaiknya anda berdiskusi mengenai masalah itu bersama anak anda, dan secara bertahap mengajarkan keberanian pada diri anak anda untuk -bagaimanapun caranya- berani mempertahankan diri, ataupun mengandukan masalah itu ke pihak sekolah, seperti guru BK atau guru yang berwenang menyelesaikan permasalahan siswa.

No comments

Leave a Reply

Blogger news

Blogroll