Si Jangkung
Kami pernah saling menertawai saat memandangi mata masing-masing. Bengkak
seperti mata ikan koi. Rencana kepindahan sekolah itu tak hanya berat bagiku,
tapi ternyata bagi sahabatku itu. padahal akunya Cuma karena alasan sederhana:
takut tak ada teman pulang. Bodohnya malam sebelumnya kami saling berkirim sms
sambil sesenggukan, kalau dipikir-pikir entah menangisi apa. Nyatanya aku juga
tak jadi pindah karena berhasil meluluhkan hati abah. Tapi, kebodohan itu yang
makin mengakrabkan kami.
Persahabatan bersamanya jika diingat membuatku
tertawa-tawa sendiri. banyak hal konyol dan pengalaman unik yang (kadang tak
sengaja) kami alami, seperti menemukan wanita korban perkosaan di tengah jalan
pagi-pagi buta, dan menyaksikan seorang ibu muda yang sekarat karena meneguk sebotol
pembersih porselen.
Dia, selalu membuatku bebas bersikap apa adanya, begitu
juga ia terhadapku; dia yang makan dengan porsi 3x lipat, dia yang sok
ikut-ikutan lomba badminton padahal ketika men-servis, shuttlecocknya
selalu menyentuh dinding aula olahraga. Walaupun begitu, seringkali
kata-katanya meneduhkan, ia membuatku yakin saat aku tak percaya diri terhadap keputusan-keputusanku.
Hal-hal yang melelahkan dibuatnya menyenangkan; kala aku mengomel sepanjang
perjalanan ia mampu membuatku tetap harus berjalan tanpa alas kaki dari rumah
menuju pantai di dinginnya pagi, atau saat kami jago-jagoan menggunakan cangkul
dan linggis untuk membabat habis rumput di depan sekretariat OSIS.
Sekali waktu ia berkata kepadaku “aku ingin seperti cewek itu, nanti kalau
sudah menikah” ujarnya sambil memandangi seorang gadis muslimah bercadar.
Omongannya ku anggap angin lalu, si tomboy itu pastilah hanya memupuk keinginan
saja, pikirku.
Menginjak kelas 3 SMA, kami makin jarang bertemu karena kelas yang telah
berbeda dan satu hal lain. Seringkali aku pandangi ia dari kejauhan. Rindu
rasanya. Tapi semua sudah terasa asing, senyum telah menghambar. Rasanya lucu
saat ingat bahwa aku cemburu pada seorang teman yang mengakrabi dia saat kami
tak sedekat dulu.
beberapa hari yang lalu, aku mendapat kabar bahwa ia tak lagi melanjutkan
kuliah “pindah ke pondok...sudah alim dia sekarang” kata seorang teman setengah
bercanda. Oh Sahabat lamaku, menggelayutlah rasa ingin bertemu, ku bayangkan ia
dengan jilbab besar dan cadar hitam. teringat kata-katanya dahulu “aku ingin
seperti cewek itu, nanti kalau sudah menikah” dan aku akui, ternyata teguh dengan harapannya dulu - bahkan lebih
cepat - di luar perkiraanku.
Kami bertemu di sebuah organisasi remaja lintas agama lalu menjadi akrab
satu sama lain. beberapa waktu kemudian kami mengundurkan diri karena sebuah
alasan yang sama. Setelah itu, kami berpisah cukup lama dan dipertemukan dalam
kesempatan yang berbeda.
Ia juga telah berbeda. Ia menyambutku dengan semangat kala itu di masjid
sekolah. Ku pandangi ia dari ujung kaki hingga ujung jilbab. Tak ada lagi
celana jeans dan blus selutut. Gamis menjuntai melengkapi penampilan barunya.
Diam-diam aku kagum dan tertarik mengikuti jejaknya.
Itulah, awal di mana ia secara tak sengaja berperan pada perubahanku yang
cukup progresif. Aku lalu mengikutinya sementara ia mengenalkanku dengan
hal-hal sama sekali baru. Singkat cerita, hampir setahun kami bersama dalam
sebuah organisasi pergerakan. Dalam hari-hari itu kami tak lepas dari diskusi
dan bertukar pikiran. Beberapa kali kami saling bertukar buku untuk dibaca
meski ia yang lebih sering memberi dibanding aku. Buku-buku Al-Ghazali lah yang
sering kami bahas bersama; sehingga aku makin akrab dan menyukai tema-tema
seputar penyucian hati. tak jarang pula saat kami mengobrol, ia melontarkan pertanyaan
yang memaksaku untuk berpikir lebih dalam, ia juga membagi penghayatannya
terhadap apa yang ia “baca”. Suatu malam di bulan ramadhan ia berkata “yang
membuat kita sedih dan terguncang saat orang-orang terdekat kita pergi
menghadap Allah” tatapannya serius
“menurutku hanya karena kita tidak siap. tidak siap untuk hidup tanpa
bantuannya lagi, dan membayangkan hari-hari yang sulit karena ketiadaanya.
Menurutmu bagaimana?” aku hanya menerawang dan mengangguk pelan.
Kami sering berdiskusi mengenai aliran dan kelompok-kelompok dalam Islam,
beberapa waktu kemudian kami menemukan alasan untuk keluar dari organisasi di
mana kami berkenalan dengan perjuangan. Semula aku yang bersikeras, lalu ia
mengikutiku sebulan kemudian. Ia yang
haus ilmu tiada berhenti mencari tahu mengenai berbagai hal. Setelah aku
merantau ke kota seberang, tak jarang ia menelponku sekedar untuk membagi apa
yang baru saja dibacanya. Dahaganya untuk belajar sering ia ungkapkan,
bagaimana ia ingin menimba lebih banyak ilmu agama.
Pernah sangat lama aku tak mengetahui kabarnya, lalu suatu hari aku
terkejut dengan sebuah berita gembira. Ia telah menikah. Pernikahan yang cukup
mendadak, saat kutanyakan, tiada lain karena ia merasa telah menemukan imam
yang tepat, dan membukakan jalannya untuk satu keinginannya tadi: menimba lebih
banyak ilmu agama.
Seringkali aku teringat padanya ketika terbentur sebuah perkara. Meski tak
bisa sesering dulu, aku masih tetap berkomunikasi dengannya nun jauh di kota
kelahiran suaminya. Di telepon ia terdengar lebih dewasa, menurutku ia telah
benar-benar memaknai tujuannya, ia telah lebih matang dengan segala macam
ilmu dan pengalamannya.
Berbeda dengannya yang yakin bahwa suatu saat kami dapat bersahabat, bagiku
sama sekali tak pernah terlintas di pikiran. Pada awalnya aku merasa berada
dalam dunia yang berbeda dengannya, ada sekat yang membuatku merasa takkan bisa
menyamainya, maksudku cara pandang, kebiasaan, sikap, dan yang lainnya. Perbedaan
itu begitu kontras meski hanya aku yang dapat melihat. Hingga meski kami
(dituntut) untuk sering bersama, sekali lagi, awalnya aku masih memasang sikap
resisten dan menerapkan jarak perbedaan itu. oke, hubungan kita sebatas
kebersamaan kita diorganisasi, selebihnya mungkin kamu akan sulit
membersamaiku. Begitulah awalnya.
Aku orang yang cukup individualis, hanya sedikit orang yang dapat menarik
hatiku dan memaksaku untuk banyak bercerita mengenai, yang kusebut dengan hal-hal
penting tentang diriku.
Aku bukan tipe orang yang pandai bercerita tentang pengalamanku 1 jam yang
lalu, apa yang aku rasakan dan pikirkan, tidak pada sembarang orang. tapi pada
akhirnya ia memaksaku untuk bisa seperti itu, ia memaksaku untuk
mendengarkannya, memberikan respon, dan menyebalkannya, itu harus. Misalnya setelah
berpanjang-panjang bercerita ia akan akan bertanya “menurutmu?”, “kalau
kamu bagaimana? Ayo cerita ..” hmm, bagi orang yang tidak suka berbagi
curahan hati seperti aku, itu benar-benar berat. Asli.
Suatu malam di kampus, ketika hanya ada kami berdua, ia duduk di sampingku.
Aku lupa bagaimana awalnya hingga ia bertanya padaku “apa anti sedang mencintai
seseorang?” kalau tidak salah begitu katanya. JLEB. Aku coba menerka-nerka
maksud gadis itu. lamaaa sekali aku memutar otak, mencari jawaban apa yang mungkin
ia harapkan, akhirnya sebelum terlalu lama keheningan itu aku menjawab. “hmmm
iya...”. DUH! Rasanya bodoh sekali jawaban itu, karena setelah itu ia bertanya
lagi “siapa ukh?”
Setelah mati gaya dengan jawaban yang aku sendiri tidak yakin, ia akhirnya
bercerita tentang dirinya “aku sedang belajar ukh” katanya sambil menerawang “belajar
mencintai, mencintai semua orang...”
Mendengarnya, perasaanku campur aduk.
Aku tak mampu berkata-kata dan hanya bisa tertegun. Aku lalu memutuskan
ia adalah salah satu dari orang aneh yang pernah kutemui. Maksudku, ia tidak biasa.
Awalnya ia sungguh "menyebalkan", seperti yang kujelaskan tadi, ia "memaksa"ku untuk banyak bercerita dan membagi
perasaanku. Namun (jika kamu membaca tulisan ini, kawan, jangan marah dulu :p )
bahwa pada akhirnya ia berhasil. Ia berhasil membuatku terkadang merasa
membutuhkannya, atau setidaknya menyadari bahwa bersama lebih baik daripada sendiri.
dan yang paling parah adalah aku menjadi rindu padanya ketika lama tak bertemu.
hampir sama dengan sahabatku yang sebelum ini kuceritakan, pembicaraanku
dengan dia yang ini seringkali mengenai kegundahan-kegundahan kami. Tentang bagaimana
menyeimbangkan kembali aktivitas kuliah dan organisasi, tentang bagaimana
menjadi teladan, tentang keluarga, dan hal lain yang dudahului dengan pertanyaan
“mengapa?”. Setelah itu kami akan mulai berpikir, lalu hening dengan isi
pikiran masing-masing, dan pada akhirnya menemukan jawaban yang saling
melengkapi.
Sahabat yang menggoreskan kesan mendalam di hatiku adalah yang bersamanya
aku menjalani hal-hal yang luar biasa dan membuatku berproses untuk lebih
dewasa. Berbagi cerita dengannya juga terkadang membuatku ingin tertunduk dalam,
kami pernah berkorespondensi, menulis surat yang memang kurasa efektif untuk
lebih mengaduk perasaan. Dari itu semua; perbincangan kami kala berdua,
korespondensi, dekapan erat dan jabat tangan yang menguat menyadarkan aku bahwa
kami akhirnya menjadi sahabat.
Begitulah, selain karena darinya aku mendapat banyak kebaikan untuk
dicontohi, melaluinya aku merasakan sebenar-benarnya manfaat dari persahabatan.
Ia sering membuat aku tertohok, atau akhirnya hatiku sendu karena melihat kepolosan
dan menerima perhatiannya.
Itu dia, sahabat yang bersama mereka aku menyimpan makna. Semoga ALLAH memelihara mereka dalam lindungan-Nya, menguatkan
untuk selalu istiqomah di jalanNya, amiin.
Allahu Rabbii,
ReplyDeleteterima kasih untuk segala yang telah Engkau berikan pada kami,
Dia-lah yang memperkuatmu dengan pertolonganNya, dan dengan para mukmin, dan yang mempersatukan hati mereka (orang0orang yang beriman)... (8:62)