Kekeliruan Dalam Mendidik Anak Usia Dini

Tentu menyenangkan memiliki anak usia dini yang sedang lucu-lucunya, tingkahnya yang menggemaskan seringkali menjadi penghibur hati orang tua dan keluarga. Karena belum mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, orang tualah yang menyiapkan apa yang ia butuhkan sebaik mungkin mulai dari pakaian, makanan, fasilitas, pendidikan, hingga kasih sayang. Walaupun sudah berusaha maksimal, terkadang orangtua masih kewalahan bahkan mungkin melakukan kesalahan dalam cara mendidik buah hatinya. Nah, beberapa kekeliruan di bawah ini dapat kita renungkan:

“MASIH KECIL KOK”
Anggapan ini biasanya menyebabkan orangtua tidak peka terhadap perilaku yang mereka tunjukkan di depan si kecil. Seringkali karena menganggap anak “masih kecil”, orangtua bebas memperlihatkan perilaku buruk di depan anak. Padahal “daya serap” anak di masa golden age ini justru lebih besar karena cara belajar utama mereka  melalui modeling. Dan satu-satunya model yang menjadi perhatian mereka adalah ayah dan bunda sendiri. Maka ketika bunda memaki-maki asisten rumah tangga di depan anak, jangan heran anak akan ikut berteriak kepada anda saat mereka kesal. Begitu pula, ketika ayah membuang sampah sembarangan, maka jangan heran anak juga tidak memperhatikan kebersihan.
Bagaimana sebaiknya?

Sadari bahwa anak usia dini belajar dengan mencontoh tindak tanduk ayah dan bunda. Tunjukkan bagaimana sikap yang baik terhadap diri sendiri dan orang lain. Jika ingin mengajari anak, mulailah dengan member teladan. Jika sudah terlanjur kepalang basah berbuat salah, jelaskan pada anak bahwa orang tua tidak sengaja atau tidak bermaksud demikian. Lalu tunjukkan bagaimana sikap yang seharusnya.

SANA, SAMA IBU!”
Ini adalah anggapan yang sangat konservatif: bahwa ibu adalah pusat pengasuhan dan pendidikan anak sementara tugas ayah bekerja seakan hanya menjadi penyokong finansial keluarga. Padahal, faktanya ayah adalah sumber pembelajaran luar biasa bagi anak. Interaksi dengan ayah dapat membantu anak matang secara emosi dan kuat menghadapi dunia luar. Bahkan ikatan ayah dan anak dapat dimulai sejak anak dalam kandungan agar tercipta kedekatan emosional antara keduanya. Ayah adalah figur yang harus ada dalam memori anak. Beberapa hal yang dapat anak pelajari dari ayah adalah bagaimana berpikir logis, bersikap berani, sikap kepahlawanan, kemampuan matematika atau ilmu pasti, kreatifitas, dan tanggung jawab. Bermain dengan ayah adalah momen indah bagi buah hati. Berbeda dengan ibu, ayah dengan tubuh kuatnya dapat bermain permainan tanpa alat bersama anak seperti kuda-kudaan, menggendong, duduk di atas pundak ayah, berputar-putar, dan banyak lagi. Sebaliknya, anak yang kurang merasakan keberadaan ayah dilaporkan cenderung mengalami harga diri rendah.
Bagaimana sebaiknya?
Sadari masing-masing peran ayah dan ibu, keduanya bisa saling melengkapi dalam mendidik si kecil. Utamanya ayah, kembalilah ke rumah. Jadilah sosok yang dapat menjadi contoh bagaimana menjadi laki-laki oleh putra anda, dan mengajari putri anda bagaimana melindungi dirinya sendiri.

 OVER PROTEKTIF
“Andi jangan main air, nanti sakit!”
“jangan pergi ke sana, nanti diculik setan!”
Ayah, bunda, sungguh baik kita punya semangat melindungi anak. Namun waspada dengan cara yang kita gunkan. Terlalu membatasi anak pada hal-hal yang sewajarnya dilakukan oleh anak lain malah dapat membuatnya merasa minder. Lalu menakut-nakuti anak dengan hal menyeramkan agar ia tidak melakukan sesuatu sama saja membentuk anak menjadi penakut.
Bagaimana sebaiknya?
Daripada berpikir untuk mencegah anak berenang agar tidak sakit, lebih baik kita berpikir bagaimana caranya agar mereka memiliki ketahanan tubuh yang kuat dan bisa ikut bergabung bersama teman-temannya. Apakah dengan memberikan suplemen makanan, latihan khusus atau yang lainnya. Jangan sampai anak kehilangan momen bermain yang menyenangkan karena sikap kita yang over protektif. Ini hanya pemisalan. Pada intinya lebih baik menyiapkan ketahanan tubuh dan kekuatan anak daripada selalu mencegahnya melakukan sesuatu yang membuat anak makin berpikir kalau dirinya memang memiliki kelemahan. Tapi jika memang harus protektif kepada anak, jelaskan alasan yang logis dan memuaskan mereka, tidak dengan menakut-nakuti. Ini berbeda dengan anak berkebutuhan khusus (ADK) yang memang butuh perlindungan lebih.

  “DASAR ANAK NAKAL!”
Mulutmu harimaumu. Hati-hati karena ketidaksabaran orangtua menghadapi tingkah pola anak mengakibatkan penyesalan yang berkepanjangan. “nakal” bisa jadi hanyalah definisi dari orangtua kepada anak karena tingkah lakunya yang “mengganggu”. Wahai ayah dan bunda, tahan ucapanmu ketika marah. “bodoh”, “nakal”, dan ucapan buruk lain lama-kelamaan akan menjadi label yang melekat kepada anak secara tidak sadar, anak akan menganggap diri seperti apa yang diucapkan oleh dua orang yang paling dekat dengannya.
Bagaimana sebaiknya?
Identifikasi perilaku anak, jika perilaku mereka memang salah dan menganggu orang lain, luruskan dengan penjelasan yang baik dan terus berikan teladan. Tapi jika itu hanya bentuk dari perilaku aktif seperti menyalakan DVD keras-keras saat anda sedang membaca, bisa jadi itu hanya untuk menarik perhatian anda. Tidak perlu terbawa emosi, dan cobalah untuk mendampingi mereka.

  “KASIH AJA DARIPADA NANGIS!”
Kadangkala karena tidak ingin dipusingkan oleh suara tangisan anak, orang tua serta-merta memberikan apa yang mereka minta sekalipun itu tidak baik bagi anak. Anak tantrum memang merepotkan sehingga orang tua sering tidak sabar menghadapinya. Tapi perlu diingat bahwa cara anak merengek atau menjerit saat meminta sesuatu, itu karena mereka belajar bahwa cara itu efektif membuat orangtua “luluh” lalu memberikan apa yang mereka inginkan. Ada dua hal yang penting dalam poin ini. Pertama, perhatikan apa yang anda berikan. Imam Al-Ghazali bahkan menasihatkan agar anak diajarkan untuk hidup sederhana sejak kecil, misalnya dengan tidak sering memberikannya makanan dan pakaian mewah. Kedua, perhatikan kapan memberikannya. ini terkait barang tertentu. Dalam pendidikan kita mengenal istilah reward (hadiah, atau hal menyenangkan) dan punishment (hukuman). Bagaimana memberikannya harus kita perhatikan, jangan sampai anak menjadi salah kaprah misalnya dengan memberikan “reward” saat anak menangis menjerit-jerit meminta barang tertentu. Jika kita lakukan, anak akan belajar bahwa “aku akan menangis agar keinginanku terpenuhi”.
Bagaimana sebaiknya?
Tidak masalah memberikan mainan sebagai wujud kasih sayang, tapi sekali waktu ajarkan anak untuk bersabar dan berperilaku baik untuk mendapatkannya terutama bagi barang yang lebih sulit didapatkan. Misalnya jika anak mau pergi sekolah atau tidak menangis saat ditinggal orang tua. Jika anak sudah terbiasa tantrum untuk meminta apa yang ia inginkan, orang tua harus bisa kuat menghadapinya dan bertahan tidak memberi sampai anak berhenti tantrum dan mulai bersikap tenang.

“NANTI AJA KALAU UDAH BESAR!”
Ini juga merupakan poin penting. Karena masih kecil, orang tua kadang kala menganggap anak hanya perlu dibiarkan bermain dan mengawasinya melakukan apa yang mereka mau; Tidak perlu mengajari anak hal-hal penting seperti akhlak yang baik, kebersihan, kedisiplinan,  karena seiring berjalannya waktu mereka akan belajar dengan sendirinya.
Si kecil makan sambil berdiri “ah tidak apa-apa, kan masih kecil”, anak bersikeras mengambil mainan milik teman “ah tidak apa-apa, masih kecil belum mengerti”, anak menangis menjerit saat ada tamu “ah masih kecil memang susah diatur”, dan pemakluman-pemakluman lainnya.
Ya, memang kita tidak harus mengajari anak banyak hal lalu menuntut ini itu. Tapi ada beberapa sikap dasar yang patut kita biasakan sejak dini, tentunya dengan cara yang lembut dan penuh kasih sayang. Karena usia 0-5 tahun adalah masa emas untuk pembentukan anak. Betapa ruginya jika sejak dini kita tidak menanamkan hal-hal baik untuk dibiasakan. Anak seperti kertas putih, jangan sampai lingkungan malah terlebih dulu mewarnai anak kita dengan hal-hal buruk yang tidak kita inginkan.
Bagaimana sebaiknya?
Untuk anak usia dini yang kita berikan adalah pembiasaan-pembiasaan, barulah seiring bertambahnya usia orangtua dapat memberi tahu alasan mengapa anak harus melakukan “ini” atau tidak melakukan “itu”, atau boleh memberikan hukuman yang tidak menyakitkan. Pembiasaan berfungsi agar orangtua tidak kesulitan mengajari anak saat usianya semakin bertambah, dan anak menjadi lebih mudah diarahkan untuk hal-hal yang baik.

Nah, semoga beberapa poin di atas dapat menjadi informasi berguna bagi ayah bunda untuk mendidik permata-permata kecilnya dari dalam rumah :)

4 comments

Blogger news

Blogroll